Hidupkan Jiwa di Jakarta Biennale 2017


Jakarta Biennale datang lagi menghiasi Gudang Sarinah Ekosistem tahun ini! Dengan mengusung tema besar “Jiwa”, acara dua tahunan yang telah hadir sejak tahun 1974 kembali menjadi perayaan seni kontemporer. 51 seniman dari Indonesia maupun dari berbagai negara lain seperti Turki, Korea Selatan, Australia, Belanda, New Zealand, Spanyol hingga Denmark menampilkan hasil karya seninya tidak hanya di Gudang Sarinah Eksosistem namun juga di Museum Sejarah Jakarta, serta Museum Keramik. Berbagai macam karya seni dari mulai instalasi seni, lukisan, patung, video, hingga rekaman musik saling melengkapi satu sama lain, menghidupi jiwa.
Perkenalan Pertama dengan Bahasa

Instalasi seni yang satu ini merupakan hasil karya Hanafi, seorang seniman yang memiliki studio Hanafi dan telah menggunakan berbagai media untuk menyampaikan pesan-pesannya dari mulai lukisan hingga instalasi seni. “Setelah bahasa ibu, berbagai bahasa datang kepadaku dalam bentuk dan rupa. Tak hanya sebagai bunyi tetapi juga imaji rupa. Bahasa juga menghadapkan tubuh pada dunia,” Tulisnya dalam deskripsi Perkenalan Pertama dengan Bahasa. Pernyataan bahasa menghadapkan tubuh pada dunia, beliau wujudukan dengan ratusan pensil yang beliau tempel di sekujur dinding dan mantel yang bisa dikenakan pengunjung. Pengunjung bisa berinteraksi langsung dengan karyanya dengan cara berjalan di ruang sempit yang telah disediakan sambil menuliskan bahasa yang tanpa sadar terukir.
Unsung Heroes

Bebatuan yang menggantung melintang seakan menjadi relief masa lalu manusia yang dahulu hanya berkawan dengan batu. I Made Djirna, seorang seniman asal Bali menghasilkan karya seni dengan apa-apa yang tersedia di alam bebas, karena baginya apa-apa yang ada di alam telah melalui proses waktu yang panjang, tidak seperti manusia yang ada masa habisnya. Bentuk instalasi seni yang penuh bebatuan mengisyaratkan masa purba yang coba beliau hidupkan kembali, karena I Made Djirna percaya pengakuan terhadap yang pernah ada akan melengkapi ada kita sekarang.
Semsar Siahaan

Di sebuah sudut dengan tembok berwarna biru terpampang lukisan-lukisan hasil karya Semsar Siahaan, seorang seniman Indonesia yang pernah menggegerkan dunia seni di Indonesia pada tahun 1981 dengan membakar habis patung karya Sunaryo, gurunya di Institut Teknologi Bandung. Kegiatan mengabukan karya gurunya ini merupakan bentuk protesnya terhadap isu mengenai Papua yang sedang ramai saat itu. Mempelajari karya Semsar Siahaan melalui lukisan-lukisan, serta guratan posternya membuat kita menyadari pesan kuat terhadap kondisi sosial-politik jiwa pemberontakan dalam diri Semsar terhadap penindasan terasa begitu kuat.
Dolorosa Sinaga

Pematung yang pernah belajar seni di Lembaga pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang bernama Institut Kesenian Jakarta) pada tahun 1971-1977 memiliki kekhasan dalam patung-patung figur. Di Jakarta Biennale 2017 kita bisa merasakan bentuk patung figurnya yang berbeda, sosok patung Alm. H. Gus Dur misalnya, beliau tampilkan dalam pose menaruh tangan di kepala sembari tertidur, atau sosok Alm. Ir. Soekarno yang beliau tampilkan dalam ekspresi yang beragam, dari mulai bahagia, marah. Dolorosa Sinaga mencoba menggubah patungnya menjadi alat penunjuk sisi kemanusiaan tokoh-tokoh pendiri bangsa.

Karya-karya yang ditampilkan di Jakarta Biennale 2017 ini rasanya tidak akan hadir begitu saja tanpa kehadiran Direktur Artistik, yaitu Melati Suryodarmo, sosok yang sudah malang melintang di dunia seni tari di kancah internasional. Beliau menceritakan mengenai tema “Jiwa” yang dihadirkan di Jakarta Biennale tahun ini “Aku menyadari bahwa jiwa nggak bisa dilihat sebagai sebuah keutuhan karena tidak ada satupun hal yang sempurna atau utuh, tapi jiwa telah menjadi energi yang mengisi, mendorong, dan menggerakan kehidupan,” tuturnya. “Kita membutuhkan refleksi kembali terhadap apa yang menggerakan kita hingga kita berada disini, dengan cara melacak kembali sejarah,” tambahnya. Karena sejatinya mengenang bukanlah berarti merindukan yang pernah ada, namun mengenang adalah cara kita untuk mempersiapkan masa yang akan datang seperti yang dipesankan oleh Mbak Melati “Karena untuk melihat masa depan kita membutuhkan fondasi yang kuat akan masa lalu”.

(Halaman terbit tanggal di koran Jawa Pos pada 14 November 2017)

Comments