Jakarta Biennale datang lagi
menghiasi Gudang Sarinah Ekosistem tahun ini! Dengan mengusung tema besar
“Jiwa”, acara dua tahunan yang telah hadir sejak tahun 1974 kembali menjadi
perayaan seni kontemporer. 51 seniman dari Indonesia maupun dari berbagai
negara lain seperti Turki, Korea Selatan, Australia, Belanda, New Zealand,
Spanyol hingga Denmark menampilkan hasil karya seninya tidak hanya di Gudang
Sarinah Eksosistem namun juga di Museum Sejarah Jakarta, serta Museum Keramik.
Berbagai macam karya seni dari mulai instalasi seni, lukisan, patung, video,
hingga rekaman musik saling melengkapi satu sama lain, menghidupi jiwa.
Perkenalan Pertama dengan Bahasa
Instalasi seni yang satu ini
merupakan hasil karya Hanafi, seorang seniman yang memiliki studio Hanafi dan
telah menggunakan berbagai media untuk menyampaikan pesan-pesannya dari mulai
lukisan hingga instalasi seni. “Setelah bahasa ibu, berbagai bahasa datang kepadaku
dalam bentuk dan rupa. Tak hanya sebagai bunyi tetapi juga imaji rupa. Bahasa
juga menghadapkan tubuh pada dunia,” Tulisnya dalam deskripsi Perkenalan
Pertama dengan Bahasa. Pernyataan bahasa menghadapkan tubuh pada dunia, beliau
wujudukan dengan ratusan pensil yang beliau tempel di sekujur dinding dan
mantel yang bisa dikenakan pengunjung. Pengunjung bisa berinteraksi langsung
dengan karyanya dengan cara berjalan di ruang sempit yang telah disediakan
sambil menuliskan bahasa yang tanpa sadar terukir.
Unsung Heroes
Bebatuan yang menggantung melintang
seakan menjadi relief masa lalu manusia yang dahulu hanya berkawan dengan batu.
I Made Djirna, seorang seniman asal Bali menghasilkan karya seni dengan apa-apa
yang tersedia di alam bebas, karena baginya apa-apa yang ada di alam telah
melalui proses waktu yang panjang, tidak seperti manusia yang ada masa
habisnya. Bentuk instalasi seni yang penuh bebatuan mengisyaratkan masa purba
yang coba beliau hidupkan kembali, karena I Made Djirna percaya pengakuan terhadap
yang pernah ada akan melengkapi ada kita sekarang.
Semsar Siahaan
Di sebuah sudut dengan tembok
berwarna biru terpampang lukisan-lukisan hasil karya Semsar Siahaan, seorang
seniman Indonesia yang pernah menggegerkan dunia seni di Indonesia pada tahun 1981
dengan membakar habis patung karya Sunaryo, gurunya di Institut Teknologi
Bandung. Kegiatan mengabukan karya gurunya ini merupakan bentuk protesnya
terhadap isu mengenai Papua yang sedang ramai saat itu. Mempelajari karya
Semsar Siahaan melalui lukisan-lukisan, serta guratan posternya membuat kita
menyadari pesan kuat terhadap kondisi sosial-politik jiwa pemberontakan dalam
diri Semsar terhadap penindasan terasa begitu kuat.
Dolorosa Sinaga
Pematung yang pernah belajar seni di
Lembaga pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang bernama Institut Kesenian
Jakarta) pada tahun 1971-1977 memiliki kekhasan dalam patung-patung figur. Di
Jakarta Biennale 2017 kita bisa merasakan bentuk patung figurnya yang berbeda,
sosok patung Alm. H. Gus Dur misalnya, beliau tampilkan dalam pose menaruh
tangan di kepala sembari tertidur, atau sosok Alm. Ir. Soekarno yang beliau
tampilkan dalam ekspresi yang beragam, dari mulai bahagia, marah. Dolorosa
Sinaga mencoba menggubah patungnya menjadi alat penunjuk sisi kemanusiaan
tokoh-tokoh pendiri bangsa.
Karya-karya yang ditampilkan di
Jakarta Biennale 2017 ini rasanya tidak akan hadir begitu saja tanpa kehadiran
Direktur Artistik, yaitu Melati Suryodarmo, sosok yang sudah malang melintang
di dunia seni tari di kancah internasional. Beliau menceritakan mengenai tema
“Jiwa” yang dihadirkan di Jakarta Biennale tahun ini “Aku menyadari bahwa jiwa
nggak bisa dilihat sebagai sebuah keutuhan karena tidak ada satupun hal yang
sempurna atau utuh, tapi jiwa telah menjadi energi yang mengisi, mendorong, dan
menggerakan kehidupan,” tuturnya. “Kita membutuhkan refleksi kembali terhadap
apa yang menggerakan kita hingga kita berada disini, dengan cara melacak
kembali sejarah,” tambahnya. Karena sejatinya mengenang bukanlah berarti
merindukan yang pernah ada, namun mengenang adalah cara kita untuk
mempersiapkan masa yang akan datang seperti yang dipesankan oleh Mbak Melati
“Karena untuk melihat masa depan kita membutuhkan fondasi yang kuat akan masa
lalu”.
(Halaman terbit tanggal di koran Jawa Pos pada 14 November
2017)
Comments
Post a Comment